MALIOBORONEWS.ID, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berkomitmen mendukung sektor perumahan melalui berbagai kebijakan strategis, terutama dalam rangka mendukung program Pemerintah untuk penyediaan 3 juta hunian.
Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut dirancang untuk meningkatkan akses pembiayaan bagi masyarakat sekaligus mendukung pengembang dalam menyediakan hunian yang layak.
“OJK sangat berkomitmen dalam mendukung pemerintah menyediakan perumahan bagi masyarakat,” kata dia.
Kebijakan pertama adalah penilaian Kualitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Berdasarkan Ketepatan Pembayaran. Di mana OJK menetapkan bahwa kualitas KPR dapat dinilai hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. Kebijakan ini diatur dalam POJK No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
Penilaian kualitas aset produktif untuk debitur dengan plafon hingga Rp5 miliar menggunakan satu pilar, yaitu ketepatan pembayaran, yang lebih longgar dibandingkan kredit lainnya yang menggunakan tiga pilar.
“Tiga pilar itu adalah prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar,” terangnya.
OJK juga mengatur bobot risiko rendah untuk KPR dalam Perhitungan ATMR Kredit. Menurutnya, dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Kredit, kredit properti rumah tinggal dikenakan bobot risiko yang lebih rendah dibandingkan kredit lainnya, seperti kredit kepada korporasi.
Berdasarkan SEOJK No.24/SEOJK.03/2021, bobot risiko ATMR Kredit ditetapkan secara granular, dengan bobot terendah sebesar 20 persen, tergantung pada rasio Loan to Value (LTV).
Ismail Riyadi menjelaskan bahwa LTV dihitung berdasarkan posisi akhir bulan dengan membandingkan nilai tercatat kredit dengan nilai agunan properti. Seiring dengan pembayaran cicilan kredit dan mendekati jatuh tempo, LTV menurun, yang secara langsung menurunkan bobot risiko ATMR Kredit.
“Dengan demikian, perbankan memiliki ruang permodalan yang lebih besar untuk menyalurkan KPR baru,”tambahnya.
Dan OJK juga membuat aturan pencabutan larangan kredit pengadaan/pengolahan tanah. Untuk mendukung pendanaan bagi pengembang perumahan, larangan pemberian kredit untuk pengadaan dan pengolahan tanah telah dicabut sejak 1 Januari 2023. Kebijakan ini memberikan keleluasaan bagi pengembang untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Sebelumnya, larangan ini diatur dalam POJK No.44/POJK.03/2017 jo. POJK No.16/POJK.03/2018.
Meski demikian, bank diimbau untuk menerapkan manajemen risiko yang baik dalam pemberian kredit tersebut. Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat proses pengembangan perumahan guna mendukung target penyediaan 3 juta hunian.
Ismail menambahkan OJK bersama stakeholder terkait tengah membahas dukungan likuiditas untuk pembiayaan program 3 juta hunian. Salah satu langkah yang direncanakan adalah penyempurnaan skema Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-SP) di pasar modal.
Dengan kebijakan-kebijakan strategis ini, OJK optimistis program Pemerintah dalam penyediaan perumahan dapat berjalan dengan baik, memberikan manfaat bagi masyarakat, dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional.(lin)