Kebijakan Macroprudential Bank Indonesia Melalui Kontrol Loan to Value (LTV)

Linda Maulidina-BI
Linda Maulidina-BI

MALIOBORO – Bank Indonesia (BI) turut berusaha menjaga Loan To Value (LTV) perbankan. Pengendalian LTV ini sangat penting bagi keberlangsungan perekonomian tanah air terutama dalam mempengaruhi stabilitas likuiditas keuangan di tanah air.

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Linda Maulidina mengungkapkan, LTV harus dikendalikan, meskipun di sisi lain Bank Indonesia berusaha mendorong perbankan untuk melakukan penyaluran kredit serendah-rendahnya 80% dan setinggi-tingginya 90% dari total asset yang telah miliki oleh masing-masing perbankan.
“Apabila melampaui akan kena charge dan juga jika kurang akan kena charge,” tuturnya saat Pelatihan Wartawan Daerah Bank Indonesia 2017 di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (21/11).

Menurutnya, pengendalian LTV memastikan aset yang dibiayai perbankan nilainya tetap tinggi. Sehingga, tidak ada kelebihan pembiayaan secara berlebihan. BI sangat berkepentingan dalam hal tersebut karena memiliki tugas mengatur kebijakan macro-prudential demi pendorong pertumbuhan perekonomian di tanah air.

Ia menambahkan, kebijakan makro memang tidak cukup untuk menangani sistem keuangan secara efektif. Sebab, kebijakan makro akan mengalami gap untuk bisa dilaksanakan melalui transformasi keuangan. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan penengah, seperti kebijakan macroprudential yang menilik makro dan menganut prinsip kehati-hatian.

Linda mengungkapkan, sejak 1979 istilah macroprudential selalu dikaitkan dengan pemberian kredit berlebihan. Padahal pemberian kredit berlebihan bisa mengganggu stabilitas keuangan. Jika bank memberi kredit berlebihan maka supply keuangan akan meningkat dan dampaknya yang langsung dirasakan adalah harga-harga akan naik.

“Pemberian kredit berlebihan pada saat ekonomi melemah maka kemampuan bayar debitur menurun, ada kemungkinan debitur macet tidak mampu membayar. Sehingga, bank terdampak karena harus melakukan restrukturisasi,” paparnya.

Implementasi macroprudential di BI dimulai sejak krisis perbankan 1998. Saat itu debitur tidak bisa membayar hutang sehingga berdampak pada krisis mata uang di mana pelemahan nilai mata uang terjadi. Sementara krisis keuangan yang terjadi dapat memicu krisisi ke mata uang, terus berdampak ke perbankan. Di mana perbankan langsung menggunakan pinjaman luar negeri untuk recoveri dan terjadilah tekanan terhadap sistem keuangan.

Langkah yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan melakukan reorganisasi dan mendirikan biro stabilitas keuangan pada tahun 2003-2005. Biro stabilitas ini untuk memonitor potensi yang mengganggu keuangan, potensi gagal bayar di sektor korporasi dan rumah tangga. BI lantas mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemerintah juga memisahkan peran pengendalian makro dan mikro dengan mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“LPS sangat perlu karena saat krisis perbankan dahulu terjadi rush, sementara OJK mengurusi microprudential,” terangnya.

(erfanto linangkung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *