MALIOBORO – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginisiasi beberapa kebijakan guna pendalaman Pasar Modal di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan pasar modal di tanah air.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santosa mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan kebijakan dalam rangka mengurangi risiko pasar, meningkatkan likuiditas pasar, serta mengakomodir perubahan siklus penyelesaian dalam praktik regional.
“OJK bersama Bursa Efek Indonesia (BEI), KSEI dan KPEI memiliki program percepatan penyelesaian transaksi bursa dari sebelumnya T+3 menjadi T+2,” terangnya. Program ini dilakukan dengan dukungan infrastruktur yang telah di pasar modal saat ini berupa penerapan Straight Through Processing (STP), Single Investor Identification (SID), dan Rekening Dana Nasabah (RDN) memungkinkan proses alokasi dana dan efek dalam penyelesaian transaksi di bursa dapat dilakukan lebih cepat dari praktik penyelesaian saat ini, yaitu T+3.
Penerapan siklus penyelesaian T+2 memberikan manfaat bagi industri yakni meningkatkan harmonisasi antar bursa global sehingga memudahkan transaksi efek lintas bursa dan/atau negara, meningkatkan likuiditas melalui percepatan reinvestment dari modal, meningkatkan efisiensi operasional, dan mengurangi risiko sistemik yang dapat terjadi di pasar modal.
“Untuk dapat merealisasikan hal tersebut, maka OJK, self regulatory organization, anggota bursa, bank kustodian, dan pelaku lainnya perlu melakukan penyesuaian pada peraturan, sistem, dan proses bisnis yang ada untuk mengakomodasi siklus penyelesaian T+2,” tambahnya.
Selain itu, OJK juga telah membuat kebijakan dalam rangka mengakselerasi jumlah investor ritel di daerah. Saat ini OJK sedang menginisiasi penyusunan kajian Perusahaan Efek Daerah. Kajian tersebut dilatarbelakangi oleh adanya keterbatasan akses investor daerah untuk berinvestasi di produk pasar modal dan belum optimalnya infrastruktur jaringan pemasaran melalui kegiatan di lokasi lain dan keagenan.
Pendirian Perusahaan Efek Daerah diharapkan dapat meningkatkan keterlibatan lembaga jasa keuangan dan profesional di daerah dalam upaya peningkatan basis investor, serta penciptaan lapangan pekerjaan di daerah.
Pengembangan Perusahaan Efek Daerah dapat mereplikasi pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang dapat menjangkau nasabah yang tidak dapat dilayani oleh bank umum. Dengan memanfaatkan sumber daya manusia di daerah, diharapkan kegiatan sosialisasi berjalan lebih optimal dan masyarakat lebih percaya berinvestasi di pasar modal.
Ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Efek Daerah antara lain jasa perantara perdagangan efek dan agen penjual reksadana. Untuk memastikan keberlangsungan keberadaaan Perusahaan Efek Daerah, dibutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur dari OJK dan SRO.
(erfanto linangkung)