MALIOBORO – Bank Indonesia menyatakan, kredit perbankan dan industri keuangan digabungkan nilainya masih belum mencukupi karena hanya mencapai 50% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Dana luar negeri dapat berupa portofolio investasi, pinjaman/kredit, maupun penanaman modal asing (PMA). Sebagai akibat dari pengumpulan dana luar negeri, pembiayaan membutuhkan valuta asing.
Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, Mirza Adityaswara menyampaikan bahwa setiap negara, termasuk Indonesia tidak bisa memproduksi semua barang yang diperlukan untuk aktivitas ekonominya sendiri. Ada beberapa komponen yang dipenuhi oleh negara lain melaluimekanisme impor. Aktivitas impor memerlukan valas untuk pembayarannya.
“Investasi dan perdagangan dunia masih bergantung kepada valas untuk transaksinya,”tuturnya dalam Seminar Pengembangan dan Pembiayaan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor di Gedung BI Yogyakarta.
Saat ini Bank Indonesia sudah memiliki MoU dengan bank sentral Malaysia dan Thailand untuk local curency settlement, namun nilainya masih kecil. Sehingga, menurutnya, dalam upaya meningkatkan kinerja ekonomi, Pemerintah Indonesia membutuhkan pembiayaan dari luar negeri.
Sebagai konsekuensi aktivitas impor dan adanya hutang luar negeri, Indonesia memerlukan penerimaan valas. Salah satu sumber penghasil valas yakni dengan melakukan aktivitas ekspor. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah sumber valas untuk membayar hutang luar negeri masih belum memadai, sehingga membutuhkan kinerja ekspor yang lebih besar.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Yogyakarta, Budi Hanoto mengatakan, kinerja perekonomian DIY selama 3 tahun terakhir memperoleh momentum baru dan dalam tren positif, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada Triwulan IV 2017, PDRB tumbuh sebesar 5,25% (yoy). Pertumbuhan ini ditopang oleh kuatnya konsumsi masyarakat di DIY (72%) dan Investasi (31%).
“Meskipun demikian, kontribusi aktivitas ekspor impor bagi perekonomian DIY masih sangat minim yaitu hanya 1%,”ujarnya.
Di saat kinerja ekspor berhasil tumbuh sebesar 9,26% (yoy), namun disisi lain impor DIY juga cenderung masih tinggi sebesar 9,19% (yoy). Kinerja ekspor yang positif akan menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Adapun motor penggerak perekonomian DIY yakni Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mampu menyerap banyak tenaga kerja di DIY. Sektor tersier masih menjadi pilihan untuk bekerja, khususnya lapangan usaha hotel dan restoran yang diyakini terus berkembang. Mengingat luas wilayah dan SDA yang terbatas, hanya 11% industri besar di DIY yang termasuk kategori padat karya.
Dalam upaya mendorong iklim usaha di DIY, Bank Indonesia beserta jajaran Pemprov terus menjaga stabilitas harga melalui TPID. Sampai akhir April 2018, inflasi DIY relatif terkendali, yaitu pada angka 3,11% (yoy), lebih rendah dibandingkan inflasi nasional sebesar 3,41% (yoy), dan pada angka 0,76% (ytd).
Stabilitas sistem keuangan juga relatif terjaga. Penyaluran kredit perbankan terus tumbuh dengan kualitas kredit yang baik, tercermin dari NPL yang rendah. Dengan suku bunga kredit terus menurun dan LDR yang belum optimal, DIY masih memiliki potensi pembiayaan dari perbankan untuk mengakselerasi industri pengolahan, khususnya yang berorientasi ekspor. (Fan)