MALIOBORO.NEWS – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DIY mendorong kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk meningkatkan jumlah kredit untuk pembiayaan sektor produktif. Sebab, otoritas mencatat rata-rata pemberian kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di wilayah setempat masih di dominasi oleh kredit konsumsi.
Kepala OJK DIY, Untung Nugroho mengungkapkan, meskipun selama ini BPR di DIY memiliki platform kredit terbesar adalah untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) namun faktanya mereka masih banyak yang menyalurkan kredit konsumtif. OJK DIY mencatat portofolio kredit untuk sektor produktif masih kalah dengan sektor konsumtif.
“Dalam catatan kami, kredit produktif yang dikucurkan BPR baru 43 persen dari keseluruhan yang diberikan. Dan 70 persen dari kredit produktif tersebut memang menyasar ke kalangan UMKM,”tuturnya.
Dalam catatan OJK DIY, BPR konvensional secara kredit tumbuh Rp5,2 triliun hingga Februari 2019 atau sekitar 1,28 persen. Dari jumlah tersebut hampir separuhnya disalurkan ke dalam bentuk kredit konsumsi yakni senilai Rp2,5 triliun.
Sementara sisanya disalurkan dalam bentuk kredit modal kerja sejumlah Rp1,8 triliun dan kredit investasi senilai Rp794 miliar. Jumlah tersebut menurut Untung memang perlu didongkrak lagi agar peran BPR dalam meningkatkan sektor perekonomian DIY bisa lebih besar lagi.
Sebenarnya, lanjut dia, kredit produktif sebenarnya bukan hal yang harus dihindari oleh perbankan utamanya BPR sepanjang penyaluran tetap memperhatikan pada prinsip kehati-hatian. Iapun mengatakan kredit konsumtif boleh asal tetap repayment capacity (kemampuan membayar – red) mesti mencukupi.
“Sebenarnya kredit konsumtif lebih mudah dan aman karena tinggal potong gaji. Hanya saja pemberian kredit konsumtif yang lebih tinggi dibanding penyaluran produktif dalam jangka panjang akan mengakibatkan dampak yang kurang baik dari sisi makro ekonomi,”paparnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar BPR juga mengimbangi penyaluran kredit untuk kebutuhan yang produktif. Ia memahami alasan mengapa ada BPR yang mayoritaskan kredit konsumsi ke masyarakat. Selain lebih aman, BPR masih cukup sulit dalam mencari nasabah dari kalangan wirausahawan.
“Meskipun di Jogja banyak UMKM tapi kan mereka rata-rata sudah dapat fasilitas semua,” tambahnya.
Dijelaskannya, repayment capacity dari nasabah menjadi faktor kunci dari BPR dalam memberikan kreditnya. Sering kali, kredit macet yang timbul dari nasabah pelaku usaha menjadi penghambat dalam penyaluran kredit produktif.
“Karena kan tidak semua pelaku usaha kecil itu berhasil. Biasanya sudah ngambil kredit kemudian usahanya gagal, mau minta Mesir lagi kan nggak dikasih, kalau yang berhasil pasti ditungguin bank terus,” imbuhnya.
Dari data OJK, tingkat non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah BPR di DIY naik dari angka 5,04 persen per Desember 2018 menjadi 5,73 persen hingga Februari 2019 dengan Kabupaten Bantul menjadi daerah tertinggi yakni senilai 8,21 persen pada Februari 2019.(erf)