MALIOBORO – Kementrian Keuangan memperingatkan kepada masyarakat untuk tidak melakukan transaksi menggunakan uang virtual. Sebab, uang virtual tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Perkembangan mata uang virtual (Cryptocurrency) berbasis distributed ledger technology, seperti Bitcoin, yang semakin marak telah menjadi perhatian berbagai otoritas keuangan dunia mengingat potensi risiko yang besar, tidak hanya bagi masyarakat penggunanya namun juga dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan.
Kepala Biro Komunikasi dan layanan informasi Kementrian Keuangan, Nufransa Wirasakti mengungkapkan, mencermati hal tersebut dan berbagai polemik yang menyertainya, Kementerian Keuangan dengan ini menegaskan penggunaaan mata uang virtual sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki landasan formal.
“Mengacu pada Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ditegaskan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran,” tandasnya.
Selain itu, setiap mata uang yang dikeluarkan memiliki kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan mendukung kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran untuk tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.
Mengingat belum adanya otoritas yang mengatur dan mengawasinya, penggunaan mata uang virtual maka menurutnya, uang virtual rawan digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Ia menambahkan, kondisi transaksi semacam ini dapat membuka peluang terhadap tindak penipuan dan kejahatan dalam berbagai bentuknya yang dapat merugikan masyarakat. Apalagi uang virtual tidak ada dasar hukumnya.
Kementrian Keuangan menilai, selain risiko yang diperoleh dari memiliki dan/atau memperjualbelikan mata uang virtual yang memiliki ketidakjelasan atau underlying asset yang mendasari nilainya. Sehingga transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat menimbulkan risiko pengggelembungan nilai (_bubble_) yang tidak hanya merugikan masyarakat namun juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
“Kementerian Keuangan senantiasa bekerja sama dengan otoritas keuangan lainnya untuk mencermati secara seksama perkembangan penggunaan mata uang virtual ini dan mengambil langkah-langkah terukur yang diperlukan untuk memitigiasi risiko peredaran dan penggunaan mata uang virtual dalam rangka menjaga kepentingan masyarakat serta menjaga kredibiltas dan stabilitas sistem keuangan,”tandasnya. (Erfanto Linangkung)