MALIOBORO – Minimnya perkembangan jumlah rumah tapak sederhana membuat peminat harus antre cukup lama. Kendala perizinan yang sering menghadang memang membuat para pengembang sering berpikir ulang untuk membangun rumah subsidi.
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesi (Apersi) mencatat jumlah rumah sehat sederhana tahun 2015 mencapai 180 ribu unit, tahun 2016 mencapai 200 ribu unit dan tahun 2017 ini, mereka memperkirakan mencapai 220 ribu unit.
Wakil Ketua Umum OKK DPP Apersi, Nurhadi mengatakan, selain regulasi perizinan yang harus disederhanakan oleh pemerintah, kebijakan lain juga harus ditempuh. Apersi mempunyai sejumlah rekomendasi, di antara Serifikat Laik Fungsi (SLF) yang harus diterapkan.
“SLF selama ini menjadi kendala akad KPR subsidi perlu direvisi karena selama ini membuat ciutnya minat pengembang kecil membangun rumah subsidi,” ujarnya.
Peraturan Pemerintah (PP) 64 harus diefektifkan praktiknya di lapangan melaui Permenpera. Menurutnya penyederhanaan tersebut bisa dilakukan dengan revisi di pasal SLF agar tidak menjadi satu satunya jalur prasyarat untuk akad KPR.
Kebijakan ini untuk menggalakkan pembangunan rumah subsidi. Di samping itu maka diusulkan agar setiap pembangunan rumah bersubsidi diberikan insentif (pasal 34 UU no 1 th 2011 tentang PKP) berupa voucher yang mempunyai nilai yang dibayar oleh Pengembang rumah komersil sebagai alternative pemenuhan kewajiban hunian berimbang.
“Jika banyak rumah subsidi yang terbangun maka Keseimbangan hunian berimbang akan tercapai,” ujarnya. (Erfanto linangkung)